LAPORAN KUNJUNGAN
DI MUSEUM RONGGOWARSITO
SEMARANG
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI
Oleh:
Atirotul Wardah
NIM. 1403026060
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
Nama
Ronggowarsito dipakai sebagai nama museum karena merupakan pujangga yang
fenomenal di Keraton Surakarta dan karya sastranya mengandung nasehat-nasehat
dan petunjuk-petunjuk bagi bangsa Indonesia yang sifatnya membangun dan
mendidik menuju pada kemuliaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kebahagiaan bangsa
Indonesia seluruhnya.
Koleksi-koleksi
dari museum Ronggowarsito berjumlah 59.802 buah yang terbagi dalam 10 jenis,
yaitu: geologi, biologika, arkeologi, historika, filologi,
numismatic/heraldika, kramologika, teknologika, ethnografika, dan seni rupa.
Dalam
laporan ini penulis akan memaparkan beberapa koleksi yang ada di museum
Ronggowarsito yang terkait dengan adanya nilai budaya Islam dan Jawa dalam
koleksi tersebut
Museum
Ronggowarsito menyimpan koleksi-koleksi peninggalan dalam hal budaya Jawa,
diantaranya adalah koleksi miniatur Masjid Agung Demak, miniatur Menara Kudus,
Wayang Kulit, Bedug dan Kentongan juga Gamelan Jawa. Peninggalan-peninggalan
tersebut ternyata menyimpan sejarah yakni adanya pola interelasi dalam budaya
Jawa dan Islam. Keduanya berakulturasi dengan membentuk suatu kebudayaan baru
yang tidak mempengaruhi keyakinan Islam dalam hal ritual ibadah.
A.
Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga
dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah mesjid
yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi
atau tahun 956
Hijriah
dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina
sebagai batu pertamanya. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten
Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena
memiliki menara
yang serupa bangunan candi.
Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus
sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para Walisongo
yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di
antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat
yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha.
Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah
yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat terlihat pada Menara Masjid
Kudus ini.
B.
Wayang
Adapun beberapa wayang yang terdapat
pada musiium Ronggowarsito diatntaranya adalah sebagai berikut :
1.
Wayang sadat, wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warno
Suhardjo di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Wayang ini sepenuhnya bernafaskan
Islam dengan suasana pesantren dan dalam penyampaiannya tetap menggunakan dasar
budaya Jawa. Bentuk wayang peraga dibuat lebih realistik. Sunggingan wayang
Sadat lebih meriah dibandingkan dengan wayang kulit Purwa dengan menggunakan
warna-warna yang lebih cerah.
Yang unik dari pagelaran wayang ini
adalah suara pukulan bedhug bertalu-talu disusul dengan ucapan assalamualaikum
oleh dalang yang memainkan wayang sebagai penanda dibukanya pagelaran wayang
Sadat. Dan cerita yang ditampilkan dalam wayang diambil dari kisah para wali
dan riwayat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Wayang ini digunakan sebagai
keperluan dakwah Islam yang sering dikaitkan dengan kata syahadatin dalam
penamaannya sebagai akronim sarana dakwah dan tabligh.
2. Wayang
warta, wayang ini menceritakan kisah yang bersumber dari
kitab injil. Wayang ini diciptakan oleh
R. Soemiyanto di Klaten.
3. Wayang
golek, wayang ini terbuat dari kayu dan
diberi baju seperti manusia. Menurut legenda yang berkembang, Sunan Kudus
menggunakan bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat
dengan menggunakan bahasa Jawa. Selain berfungsi sebagai penyebar agama
Islam pertunjukkan seni wayang golek ini juga menjadi pelengkap upacara selamatan atau ruwatan,
serta menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu.
4.
Wayang
kulit, menurut sejarah orang yang pertama kali membuat jenis wayang ini adalah
sunan Kalijaga dengan tujuan menyebarkan agama Islam, wayang ini terbuat dari
lembaran kulit kerbau atau sapi yang dipahat menurut bentuk wayang, kemudian
disungging dengan warna-warni yang mencerminkan perlambangan karakter dari sang
tokoh dan terdapat cempurit. Cempurit adalah kerangka yang terbuat dari tanduk
kerbau atau kulit penyu. Yang digunakan sebagai penguat agar lembaran wayang
tidak lemas.
C. Bedug
dan Kentongan
Bedug terkait dengan masa prasejarah
Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis
genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan. Kata Bedug juga sudah
disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi.
Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg)
dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat
komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya.
Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang
mengatakan, “Wis wanci keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg”
diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Seiring perkembangan zaman, bedug
dan kentongan berubah fungsi, yaitu untuk pertanda bahwa waktu sholat fardhu
telah tiba sebelum adzan dikumandangkan. Bedug sendiri terbuat dari kulit sapi
ataupun kambing yang sudah dikeringkan lalu, dipasang pada kayu yang sudah
berbentuk tabung tanpa alas,tutup serta isi. Sedangkan Kentongan terbuat dari
kayu yang dilubangi memanjang sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Bunyi dari kedua benda itu mempunyai makna tersendiri. Bunyi
kentongan yg berbunyi “tong...tong..tong”
memiliki arti kalau masjid ijeh kotong
kata orang jawa yang artinya masjid masih kosong. Sedangkan bunyi bedug yang
berbunyi “deng...deng..deng” memiliki
arti bahwa masjid ijeh sedeng kata
orang jawa yang artinya masjid masih muat. Maka dari itu bedug dan kentongan
dijadikan sebagai pembuka sebelum adzan karena bunyi dari kedua benda tersebut
berisi ajakan untuk mengisi masjid yang masih kosong dan masih muat untuk beribadah.
Dalam hal ini adanya unsur budaya Jawa dalam kedua benda tersebut, kemudian
berakulturasi dengan Islam terbentuklah suatu kebudayaan baru dimana kedua
benda tersebut menjadi alat komunikasi pertanda masuknya waktu shalat fardhu
bagi umat Islam.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar