Kamis, 29 Desember 2016

laporan kunjungan museum ronggowarsito



LAPORAN KUNJUNGAN
DI MUSEUM RONGGOWARSITO
SEMARANG

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI




Oleh:

Atirotul Wardah
NIM. 1403026060


FAKULTAS  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

Nama Ronggowarsito dipakai sebagai nama museum karena merupakan pujangga yang fenomenal di Keraton Surakarta dan karya sastranya mengandung nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk bagi bangsa Indonesia yang sifatnya membangun dan mendidik menuju pada kemuliaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kebahagiaan bangsa Indonesia seluruhnya.
Koleksi-koleksi dari museum Ronggowarsito berjumlah 59.802 buah yang terbagi dalam 10 jenis, yaitu: geologi, biologika, arkeologi, historika, filologi, numismatic/heraldika, kramologika, teknologika, ethnografika, dan seni rupa.
Dalam laporan ini penulis akan memaparkan beberapa koleksi yang ada di museum Ronggowarsito yang terkait dengan adanya nilai budaya Islam dan Jawa dalam koleksi tersebut
Museum Ronggowarsito menyimpan koleksi-koleksi peninggalan dalam hal budaya Jawa, diantaranya adalah koleksi miniatur Masjid Agung Demak, miniatur Menara Kudus, Wayang Kulit, Bedug dan Kentongan juga Gamelan Jawa. Peninggalan-peninggalan tersebut ternyata menyimpan sejarah yakni adanya pola interelasi dalam budaya Jawa dan Islam. Keduanya berakulturasi dengan membentuk suatu kebudayaan baru yang tidak mempengaruhi keyakinan Islam dalam hal ritual ibadah.
A.      Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertamanya. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat terlihat pada Menara Masjid Kudus ini.
B.     Wayang
Adapun beberapa wayang yang terdapat pada musiium Ronggowarsito diatntaranya adalah sebagai berikut :
1.                        Wayang sadat,  wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warno Suhardjo di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Wayang ini sepenuhnya bernafaskan Islam dengan suasana pesantren dan dalam penyampaiannya tetap menggunakan dasar budaya Jawa. Bentuk wayang peraga dibuat lebih realistik. Sunggingan wayang Sadat lebih meriah dibandingkan dengan wayang kulit Purwa dengan menggunakan warna-warna yang lebih cerah.
Yang unik dari pagelaran wayang ini adalah suara pukulan bedhug bertalu-talu disusul dengan ucapan assalamualaikum oleh dalang yang memainkan wayang sebagai penanda dibukanya pagelaran wayang Sadat. Dan cerita yang ditampilkan dalam wayang diambil dari kisah para wali dan riwayat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Wayang ini digunakan sebagai keperluan dakwah Islam yang sering dikaitkan dengan kata syahadatin dalam penamaannya sebagai akronim sarana dakwah dan tabligh.
2.  Wayang warta, wayang ini menceritakan kisah yang bersumber dari kitab injil. Wayang ini diciptakan        oleh R. Soemiyanto di Klaten.
3.      Wayang golek, wayang  ini terbuat dari kayu dan diberi baju seperti manusia. Menurut legenda yang berkembang, Sunan Kudus menggunakan bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan Islam di masyarakat dengan menggunakan bahasa Jawa. Selain berfungsi sebagai penyebar agama Islam pertunjukkan seni wayang golek ini juga menjadi  pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, serta menjadi tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu.
4.      Wayang kulit, menurut sejarah orang yang pertama kali membuat jenis wayang ini adalah sunan Kalijaga dengan tujuan menyebarkan agama Islam, wayang ini terbuat dari lembaran kulit kerbau atau sapi yang dipahat menurut bentuk wayang, kemudian disungging dengan warna-warni yang mencerminkan perlambangan karakter dari sang tokoh dan terdapat cempurit. Cempurit adalah kerangka yang terbuat dari tanduk kerbau atau kulit penyu. Yang digunakan sebagai penguat agar lembaran wayang tidak lemas.
C.        Bedug dan Kentongan
Bedug terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan. Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Seiring perkembangan zaman, bedug dan kentongan berubah fungsi, yaitu untuk pertanda bahwa waktu sholat fardhu telah tiba sebelum adzan dikumandangkan. Bedug sendiri terbuat dari kulit sapi ataupun kambing yang sudah dikeringkan lalu, dipasang pada kayu yang sudah berbentuk tabung tanpa alas,tutup serta isi. Sedangkan Kentongan terbuat dari kayu yang dilubangi memanjang sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Bunyi dari kedua benda itu mempunyai makna tersendiri. Bunyi kentongan yg berbunyi “tong...tong..tong” memiliki arti kalau masjid ijeh kotong kata orang jawa yang artinya masjid masih kosong. Sedangkan bunyi bedug yang berbunyi “deng...deng..deng” memiliki arti bahwa masjid ijeh sedeng kata orang jawa yang artinya masjid masih muat. Maka dari itu bedug dan kentongan dijadikan sebagai pembuka sebelum adzan karena bunyi dari kedua benda tersebut berisi ajakan untuk mengisi masjid yang masih kosong dan masih muat untuk beribadah. Dalam hal ini adanya unsur budaya Jawa dalam kedua benda tersebut, kemudian berakulturasi dengan Islam terbentuklah suatu kebudayaan baru dimana kedua benda tersebut menjadi alat komunikasi pertanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam.
LAMPIRAN-LAMPIRAN






Tidak ada komentar:

Posting Komentar